Kilas Java, Surabaya – Perseteruan antara warga penghuni Apartemen Bale Hinggil (ABH) dan pihak pengembang serta pengelola terus bergulir, kini memasuki babak baru. Kuasa hukum warga, Agung Parmadi, resmi melaporkan berbagai dugaan pelanggaran ke sejumlah institusi penegak hukum dan pengawas negara. Langkah ini diambil setelah berbagai upaya penyelesaian melalui pemerintah daerah dan legislatif lokal tidak membuahkan hasil konkret.
Agung mengungkapkan, laporan telah disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Bareskrim Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, hingga Komnas HAM. Tak hanya itu, surat permohonan juga dilayangkan kepada Komisi III DPR RI agar kasus ini dapat dibahas dalam forum Rapat Dengar Pendapat.
“Pemutusan listrik dan air secara sepihak sejak awal April adalah bentuk penindasan terhadap hak dasar manusia. Warga sudah memenuhi kewajiban membayar seluruh tagihan, namun justru diperlakukan secara tidak adil,” ujar Agung usai menyerahkan laporan ke Kejati Jatim, Kamis, 22 Mei 2025.
Menurutnya, langkah hukum ini ditempuh bukan semata karena pelanggaran administratif, tetapi juga karena ada indikasi kuat adanya unsur pidana dalam pengelolaan aset dan kewajiban oleh pengembang PT Tlatah Gema Anugrah (TGA) serta pengelola PT Tata Kelola Sarana (TKS). Salah satunya adalah dugaan penggelapan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah.
Warga juga menduga adanya upaya manipulatif dengan menjaminkan sertifikat induk bernilai ratusan miliar rupiah serta indikasi pelanggaran terhadap regulasi Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Lebih jauh, Agung menyebut adanya dugaan gratifikasi yang melibatkan oknum dari Pemerintah Kota Surabaya maupun anggota DPRD Komisi C.
Permasalahan yang dialami warga ABH sebenarnya telah melalui berbagai tahapan mediasi. Pemerintah Kota Surabaya dan DPRD Komisi C telah memfasilitasi beberapa kali pertemuan, bahkan Wali Kota dan Wakil Wali Kota turun langsung ke lokasi. Namun, rekomendasi hasil mediasi tersebut tidak pernah dijalankan oleh pengembang maupun pengelola.
“Tidak ada itikad baik yang terlihat. Bahkan ruang mediasi sudah tertutup dan tidak ada tindak lanjut yang jelas dari pemangku kepentingan lokal. Karena itu, kami merasa perlu membawa kasus ini ke tingkat nasional,” tegas Agung.
Ia juga menekankan pentingnya pendampingan hukum secara serius dan strategis, mengingat kekuatan yang dihadapi warga bukan sekadar korporasi, tetapi juga berkelindan dengan potensi keterlibatan aparatur negara.
“Jika pengembang tidak mampu menyelesaikan kewajibannya, termasuk menerbitkan AJB dan SHMSRS bagi para pemilik unit, maka tidak ada jalan lain selain menuntut pertanggungjawaban pidana,” tambahnya.
Bagi warga ABH, perjuangan ini lebih dari sekadar menuntut hak properti. Ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan yang sistematis dan peringatan keras terhadap praktik pengelolaan hunian vertikal yang tidak manusiawi.